Mendapat Hidayah di Biara
Allah selalu memberi petunjuk kepada siapa saja yang mencari kebenaran, di
mana pun hamba-Nya berada, di biara sekali pun. Itulah yang terjadi pada
Irena Handono yang mendapat hidayah justru saat mencari kelemahan Islam.
Ketika membaca surat Al Ikhlas hatinya tunduk akan keesaan Allah swt. Ia
mengakui bahwa tak ada yang paling berkuasa dan patut disembah di jagad raya
ini selain Sang Khalik.
Berikut penuturannya kepada Siwi WulAndari dari Majalah Hidayah:
Mendapat hidayah di Biara
Aku dibesarkan dalam keluarga yang rilegius. Ayah dan ibuku merupakan
pemeluk Katholik yang taat. Sejak bayi aku sudah dibabtis, dan sekolah
seperti anak-anak lain. Aku juga mengikuti kursus agama secara privat.
Ketika remaja aku aktif di organisasi gereja.
Sejak masa kanak-kanak, aku sudah termotivasi untuk masuk biara. Bagi orang
Katholik, hidup membiara adalah hidup yang paling mulia, karena pengabdian
total seluruh hidupnya hanya kepada Tuhan. Semakin aku besar, keinginan itu
sedemikian kuatnya, sehingga menjadi biarawati adalah tujuan satu-satunya
dalam hidupku.
Kehidupanku nyaris sempurna, aku terlahir dari keluarga yang kaya raya,
kalau diukur dari materi. Rumahku luasnya 1000 meter persegi. Bayangkan,
betapa besarnya. Kami berasal dari etnis Tionghoa. Ayaku adalah seorang
pengusaha terkenal di Surabaya, beliau merupakan salah satu donatur terbesar
gereja di Indonesia. Aku anak kelima dan perempuan satu-satunya dari lima
bersaudara.
Aku amat bersyukur karena dianugrahi banyak kelebihan. Selain materi,
kecerdasanku cukup lumayan. Prestasi akademikku selalu memuaskan. Aku pernah
terpilih sebagai ketua termuda pada salah satu organisasi gereja. Ketika
remaja aku layaknya remaja pada umumnya, punya banyak teman, aku dicintai
oleh mereka, bahkan aku menjadi faforit bagi kawan-kawanku.
Intinya, masa mudaku kuhabiskan dengan penuh kesan, bermakna, dan indah.
Namun demikian aku tidak larut dalam semaraknya pergaulan muda-mudi,
walalupun semua fasilitas untuk hura-hura bahkan foya-foya ada. Keinginan
untuk menjadi biarawati tetap kuat. Ketika aku lulus SMU, aku memutuskan
untuk mengikuti panggilan Tuhan itu.
Tentu saja orang tuaku terkejut. Berat bagi mereka untuk membiarkan anak
gadisnya hidup terpisah dengan mereka. Sebagai pemeluk Katholik yang taat,
mereka akhirnya mengikhlaskannya. Sebaliknya dengan kakak-kakaku, mereka
justru bangga punya adik yang masuk biarawati.
Tidak ada kesulitan ketika aku melangkah ke biara, justru kemudahan yang
kurasakan. Dari banyak biarawati, hanya ada dua orang biara yang diberi
tugas ganda. Yaitu kuliah di biara dan kuliah di Instituit Filsafat
Teologia, seperti seminari yang merupakan pendidikan akhir pastur. Salah
satu dari biarawati yang diberi keistimewaan itu adalah saya.
Dalam usia 19 tahun Aku harus menekuni dua pendidikan sekaligus, yakni
pendidikan di biara, dan di seminari, dimana aku mengambil Fakultas
Comparative Religion, Jurusan Islamologi.
Di tempat inilah untuk pertama kali aku mengenal Islam. Di awal kuliah,
dosen memberi pengantar bahwa agama yang terbaik adalah agama kami sedangkan
agama lain itu tidak baik. Beliau mengatakan, Islam itu jelek. Di Indonesia
yang melarat itu siapa?, Yang bodoh siapa? Yang kumuh siapa? Yang tinggal di
bantaran sungai siapa? Yang kehilangan sandal setiap hari jumat siapa? Yang
berselisih paham tidak bisa bersatu itu siapa? Yang jadi teroris siapa?
Semua menunjuk pada Islam. Jadi Islam itu jelek.
Aku mengatakan kesimpulan itu perlu diuji, kita lihat negara-negara lain,
Philiphina, Meksiko, Itali, Irlandia, negara-negara yang mayoritas kristiani
itu tak kalah amburadulnya. Aku juga mencontohkan negara-negara penjajah
seperti terbentuknya negara Amerika dan Australia, sampai terbentuknya
negara Yahudi Israel itu, mereka dari dulu tidak punya wilayah, lalu
merampok negara Palestina.
Jadi tidak terbukti kalau Islam itu symbol keburukan. Aku jadi tertarik
mempelajari masalah ini. Solusinya, aku minta ijin kepada pastur untuk
mempelajari Islam dari sumbernya sendiri, yaitu al-Qur'an dan Hadits. Usulan
itu diterima, tapi dengan catatan, aku harus mencari kelemahan Islam.
Kebenaran surat Al Ikhlas
Ketika pertama kali memegang kitab suci al-Qur'an, aku bingung. Kitab ini,
mana yang depan, mana yang belakang, mana atas mana bawah. Kemudian aku
amati bentuk hurufnya, aku semakin bingung. Bentuknya panjang-panjang,
bulat-bulat, akhirnya aku ambil jalan pintas, aku harus mempelajari dari
terjemah.
Ketika aku pelajari dari terjemahan, karena aku tak mengerti bahwa membaca
al-Quran dimulai dari kiri, aku justru terbalik dengan membukanya dari
kanan. Yang pertama kali aku pandang, adalah surat Al Ihlas.
Aku membacanya, bagus surat al-Ikhlas ini, pujiku. Suara hatiku membenarkan
bahwa Allah itu Ahad, Allah itu satu, Allah tidak beranak, tidak
diperanakkan dan tidak sesuatu pun yang menyamai Dia. "Ini 'kok bagus, dan
bisa diterima!" pujiku lagi.
Pagi harinya, saat kuliah teologia, dosen saya mengatakan, bahwa Tuhan itu
satu tapi pribadinya tiga, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Putra dan Tuhan Roh
Kudus. Tiga Tuhan dalam satu, satu Tuhan dalam tiga, ini yang dinamakan
trinitas, atau tritunggal. Malamnya, ada yang mendorong diriku untuk mengaji
lagi surat al-Ihklas. "Allahhu ahad, ini yang benar," putusku pada akhirnya.
Maka hari berikutnya terjadi dialog antara saya dan dosen-dosen saya. Aku
katakana, "Pastur (Pastur), saya belum paham hakekat Tuhan."
"Yang mana yang Anda belum paham?" tanya Pastur.
Dia maju ke papan tulis sambil menggambar segitiga sama sisi, AB=BC=CA. Aku
dijelaskan, segitiganya satu, sisinya tiga, berarti tuhan itu satu tapi
pribadinya tiga. Tuhan Bapak sama kuasanya dengana Tuhan Putra sama dengan
kuasanya Tuhan Roh Kudus. Demikian Pastur menjelaskan.
"Kalau demikian, suatu saat nanti kalau dunia ini sudah moderen, iptek
semakin canggih, Tuhan kalau hanya punya tiga pribadi, tidak akan mampu
untuk mengelola dunia ini. Harus ada penambahnya menjadi empat pribadi,"
tanyaku lebih mendalam.
Dosen menjawab, "Tidak bisa!"
Aku jawab bisa saja, kemudian aku maju ke papan tulis. Saya gambar bujur
sangkar. Kalau dosen saya mengatakan Tuhan itu tiga dengan gambar segitiga
sama sisi, sekarang saya gambar bujur sangkar. Dengan demikian, bisa saja
saya simpulkan kalau tuhan itu pribadinya empat. Pastur bilang, tidak boleh.
Mengapa tidak boleh? Tanya saya semakin tak mengerti.
"Ini dogma, yaitu aturan yang dibuat oleh para pemimpin gereja!" tegas
Pastur.
Aku katakana, kalau aku belum paham dengan dogma itu bagaimana?
"Ya terima saja, telan saja. Kalau Anda ragu-ragu, hukumnya dosa!" tegas
Pastur mengakhiri.
Walau pun dijawab demikian, malam hari ada kekuatan yang mendorong saya
untuk kembali mempelajari surat al-Ikhlas. Ini terus berkelanjutan, sampai
akhirnya aku bertanya kepada Pastur, "Siapa yang membuat mimbar, membuat
kursi, meja?" Dia tidak mau jawab.
"Coba Anda jawab!" Pastur balik bertanya. Dia mulai curiga. Aku jawab, itu
semua yang buat tukang kayu.
"Lalu kenapa?" tanya Pastur lagi.
"Menurut saya, semua barang itu walaupun dibuat setahun lalu, sampai seratus
tahun kemudian tetap kayu, tetap meja, tetap kursi. Tidak ada satu pun yang
membuat mereka berubah jadi tukang kayu," saya mencoba menjelaskan.
"Apa maksud Anda?" Tanya Pastur penasaran.
Aku kemudian memaparkan, bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dan seluas
isinya termasuk manusia. Dan manusia yang diciptakan seratus tahun lalu
sampai seratus tahun kemudian, sampai kiamat tetap saja manusia, manusia
tidak mampu mengubah dirinya menjadi Tuhan, dan Tuhan tidak boleh
dipersamakan dengan manusia.
Malamnya, kembali kukaji surat al-Ikhlas. Hari berikutnya, aku bertanya
kepada Pastur, "Siapa yang melantik RW?" Saya ditertawakan. Mereka pikir,
ini 'kok ada suster yang tidak tahu siapa yang melantik RW?.
"Sebetulnya saya tahu," ucapku.
"Kalau Anda tahu, mengapa Anda Tanya? Coba jelaskan!" tantang mereka.
"Menurut saya, yang melantik RW itu pasti eselon di atasnya, lurah atau
kepala desa. Kalau sampai ada RW dilantik RT jelas pelantikan itu tidak
syah."
"Apa maksud Anda?" Mereka semakin tak mengerti.
Saya mencoba menguraikan, "Menurut pendapat saya, Tuhan itu menciptakan alam
semesta dan seluruh isinya termasuk manusia. Manusia itu hakekatnya sebagai
hamba Tuhan. Maka kalau ada manusia melantik sesama manusia untuk menjadi
Tuhan, jelas pelantikan itu tidak syah."
Keluar dari Biara
Malam berikutnya, saya kembali mengkaji surat al-Ikhlas. Kembali terjadi
dialog-dialog, sampai akhirnya saya bertanya mengenai sejarah gereja.
Menurut semua literratur yang saya pelajari, dan kuliah yang saya terima,
Yesus untuk pertama kali disebut dengan sebutan Tuhan, dia dilantik menjadi
Tuhan pada tahun 325 Masehi. Jadi, sebelum itu ia belum menjadi Tuhan, dan
yang melantiknya sebagai Tuhan adalah Kaisar Constantien kaisar romawi.
Pelantikannya terjadi dalam sebuah conseni (konferensi atau muktamar) di
kota Nizea. Untuk pertama kali Yesus berpredikat sebagai Tuhan. Maka
silahkan umat kristen di seluruh dunia ini, silahkan mencari cukup satu ayat
saja dalam injil, baik Matius, Markus, Lukas, Yohanes, mana ada satu kalimat
Yesus yang mengatakan 'Aku Tuhanmu'? Tidak pernah ada.
Mereka kaget sekali dan mengaggap saya sebagai biarawati yang kritis. Dan
sampai pada pertemua berikutnya, dalam al-Quran yang saya pelajari, ternyata
saya tidak mampu menemukan kelemahan al-Qur'an. Bahkan, saya yakin tidak ada
manusia yang mampu.
Kebiasaan mengkaji al-Qur'an tetap saya teruskan, sampai saya berkesimpulan
bahwa agama yang hak itu cuma satu, Islam. Subhanaallah.
Saya mengambil keputusan besar, keluar dari biara. Itu melalui proses
berbagai pertimbangan dan perenungan yang dalam, termasuk melalui surat dan
ayat. Bahkan, saya sendiri mengenal sosok Maryam yang sesungguhnya dari
al-Qur'an surat Maryam. Padahal, dalam doktrin Katholik, Maryam menjadi
tempat yang sangat istimewa. Nyaris tidak ada doa tanpa melalui
perantaranya. Anehnya, tidak ada Injil Maryam.
Jadi saya keluar dengan keyakinan bahwa Islam agama Allah. Tapi masih
panjang, tidak hari itu saya bersyahadat. Enam tahun kemudian aku baru
mengucapkan dua kalimah syahadat.
Selama enam tahun, saya bergelut untuk mencari. Saya diterpa dengan berbagai
macam persoalan, baik yang sedih, senang, suka dan duka. Sedih, karena saya
harus meninggalkan keluarga saya. Reaksi dari orang tua tentu bingung
bercampur sedih.
Sekeluarnya dari biara, aku melanjutkan kuliah ke Universitas Atmajaya.
Kemudian aku menikah dengan orang Katholik. Harapanku dengan menikah adalah,
aku tidak lagi terusik oleh pencarian agama. Aku berpikir, kalau sudah
menikah, ya selesai!
Ternyata diskusi itu tetap berjalan, apalagi suamiku adalah aktifis
mahasiswa. Begitu pun dengan diriku, kami kerap kali berdiskusi. Setiap
kali kami diskusi, selalu berakhir dengan pertengkaran, karena kalau aku
mulai bicara tentang Islam, dia menyudutkan. Padahal, aku tidak suka sesuatu
dihujat tanpa alasan. Ketika dia menyudutkan, aku akan membelanya, maka
jurang pemisah itu semakin membesar, sampai pada klimaksnya.
Aku berkesimpulan kehidupan rumah tangga seperti ini, tidak bisa berlanjut,
dan tidak mungkin bertahan lama. Aku mulai belajar melalui ustadz. Aku mulai
mencari ustadz, karena sebelumnya aku hanya belajar Islam dari buku semua.
Alhamdulillah Allah mempertemuka saya dengan ustadz yang bagus, diantaranya
adalah Kyai Haji Misbah (alm.). Beliau ketua MUI Jawa Timur periode yang
lalu.
Aku beberapa kali berkonsultasi dan mengemukakan niat untuk masuk Islam.
Tiga kali ia menjawab dengan jawaban yang sama, "Masuk Islam itu gampang,
tapi apakah Anda sudah siap dengan konsekwensinya?"
"Siap!" jawabku.
"Apakah Anda tahu konsekwensinya?" tanya beliau.
"Pernikahan saya!" tegasku. Aku menyadari keinginanku masuk Islam semakin
kuat.
"Kenapa dengan dengan perkawinan Anda, mana yang Anda pilih?" Tanya beliau
lagi.
"Islam" jawabku tegas.
Akhirnya rahmat Allah datang kepadaku. Aku kemudian mengucapkan dua kalimat
syahadat di depan beliau. Waktu itu tahun 1983, usiaku 26 tahun. Setelah
resmi memeluk Islam, aku mengurus perceraianku, karena suamiku tetap pada
agamanya. Pernikahanku telah berlangsung selama lima tahun, dan telah
dikaruniai tiga orang anak, satu perempuan dan dua laki-laki. Alhamdulillah,
saat mereka telah menjadi muslim dan muslimah.
Shalat pertama kali
Setelah aku mengucapkan syahadat, aku tahu persis posisiku sebagai seorang
muslimah harus bagaimana. Satu hari sebelum ramadhan tahun dimana aku
berikrar, aku langsung melaksanakan shalat.
Pada saat itulah, salah seorang kakak mencari saya. Rumah cukup besar.
Banyak kamar terdapat didalamnya. Kakakku berteriak mencariku. Ia kemudian
membuka kamarku. Ia terkejut, 'kok ada perempuan shalat? Ia piker ada orang
lain yang sedang shalat. Akhirnya ia menutup pintu.
Hari berikutnya, kakakku yang lain kembali mencariku. Ia menyaksikan bahwa
yang sedang shalat itu aku. Selesai shalat, aku tidak mau lagi
menyembunyikan agama baruku yang selama ini kututupi. Kakakku terkejut luar
biasa. Ia tidak menyangka adiknya sendiri yang sedang shalat. Ia tidak bisa
bicara, hanya wajahnya seketika merah dan pucat. Sejak saat itulah terjadi
keretakan diantara kami.
Agama baruku yang kupilih tak dapat diterima. Akhirnya aku meninggalkan
rumah. Aku mengontrak sebuah rumah sederhana di Kota Surabaya. Sebagai anak
perempuan satu-satunya, tentu ibuku tak mau kehilangan. Beliau tetap datang
menjenguk sesekali. Enam tahun kemudian ibu meninggal dunia. Setelah ibu
saya meninggal, tidak ada kontak lagi dengan ayah atau anggota keluarga yang
lain sampai sekarang.
Aku bukannya tak mau berdakwah kepada keluargaku, khususnya ibuku. Walaupun
ibu tidak senang, ketegangan-ketegangan akhirnya terjadi terus. Islam,
baginya identik dengan hal-hal negatif yang saya contohkan di atas.
Pendapat ibu sudah terpola, apalagi usia ibu sudah lanjut.
Tahun 1992 aku menunaikan rukun Islam yang kelima. Alhamdulillah aku
diberikan rejeki sehingga bisa menunaikan ibadah haji. Selama masuk Islam
sampai pergi haji, aku selalu menggerutu kepada Allah, "kalau Engkau, ya
Allah, menakdirkanku menjadi seorang yang mukminah, mengapa Engkau tidak
menakdirkan saya menjadi anak orang Islam, punya bapak Islam, dan ibu orang
Islam, sama seperti saudara-saudaraku muslim yang kebanyakan itu. Dengan
begitu, saya tidak perlu banyak penderitan. Mengapa jalan hidup saya harus
berliku-liku seperti ini?" ungkapku sedikit kesal.
Di Masjidil-Haram, aku bersungkur mohon ampun, dilanjutkan dengan sujud
syukur. Alhamdulillah aku mendapat petunjuk dengan perjalan hidupku seperti
ini. Aku merasakan nikmat iman dan nikmat Islam. Padahal, orang Islam yang
sudah Islam tujuh turunan belum tentu mengerti nikmat iman dan Islam.
Islam adalah agama hidayah, agama hak. Islam agama yang sesuai dengan fitrah
manusia. Manusia itu oleh Allah diberi akal, budi, diberi emosi, rasio.
Agama Islam adalh agama untuk orang yang berakal, semakin dalam daya
analisis kita, insya Allah, Allah akan memberi. Firman Allah, "Apakah sama
orang yang tahu dan tidak tahu?"
Sepulang haji, hatiku semakin terbuka dengan Islam, atas kehendak-Nya pula
aku kemudian diberi kemudahan dalam belajar agama tauhid ini. Alhamdulillah
tidak banyak kesulitan bagiku untuk belajar membaca kitab-kitab. Allah
memberi kekuatan kepadaku untuk bicara dan berdakwah. Aku begitu lancar dan
banyak diundang untuk berceramah. Tak hanya di Surabaya, aku kerap kali
diundang berdakwah di Jakarta.
Begitu banyak yang Allah karuniakan kepadaku, termasuk jodoh, melalui pertemuan yang Islami, aku dilamar seorang ulama. Beliau adalah Masruchin Yusufi, duda lima anak yang isterinya telah meninggal dunia. Kini kami berdua sama-sama aktif berdakwah
sampai ke pelosok desa. Terjun di bidang dakwah tantangannya luar biasa.
Alhamdulillah, dalam diri ini terus menekankan bahwa hidupku, matiku hanya
karena Allah.